Dewasa ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam peningkatan pelayanan kesehatan, salah satunya ialah jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah yakni BPJS. Munculnya BPJS adalah bukti bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah dalam
peningkatan pelayanan kesehatan dengan menyediakan jaminan kesehatan yang terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat. BPJS hadir di tengah masyarakat membawa solusi atas
permasalahan
kesehatan yang
tak sedikit melanda rakyat. Lalu, bagaimana dengan pelayanan
yang diberikan BPJS pada masyarakat? Jaminan kesehatan yang
satu ini memang sangatlah
terjangkau dengan kelas yang disediakan, ditambah lagi pemilihan kelas pada BPJS yang
tidak berdasarkan usia atau
apapun, hal ini memberikan kebebasan pada masyarakat untuk
memilih kelas sesuai dengan kesanggupannya. Inilah yang
membuat jumlah peserta BPJS begitu melimpah. Jika sudah begini maka permasalahan yang acap kali terdengar telinga kita
adalah
"antre". Banyak pasien
BPJS yang mengeluhkan
hal tersebut. Dalam
jaminan
kesehatan ini berlaku sistem rujukan, jadi tidak serta merta pasien langsung dapat berobat ke
dokter spesialis atau rumah sakit. Pasien harus menjalani serangkaian prosedur yang
berbelit-
belit untuk mendapatkan rujukan ke
rumah sakit, yakni harus mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu dari fasilitas kesehatan (faskes) tingkat 1. "Wani
piro?" para pelaku pelayanan kesehatan
pun
tak
sedikit yang memberlakukan istilah
tersebut
dalam melaksanakan tugasnya, nyatanya pasien BPJS memang mendapatkan "jalan" untuk berobat. Namun ibarat
google maps, pasien BPJS dilewatkan jalur yang
lebih jauh untuk sampai ke tujuannya. Pelayanan yang lama dan terkesan bertele-tele tak sedikit yang membuat pasien BPJS
mengelus dada. Lalu bagaimana jika sedang berada diluar kota? Tetap saja, Pasien hanya bisa berobat di faskes tingkat 1 yang telah Ia pilih. Begitulah kenyataannya, terdapat banyak batasan dibalik terjangkaunya premi yang harus
dirogoh pasien.
Berbagai unit pelayanan kesehatan telah banyak tersebar di negeri ini. Dari rumah
sakit, klinik, puskesmas, hingga apotek.
Apotek sendiri melayani masyarakat dengan
menyediakan
obat-obatan
swamedikasi maupun resep dokter.
Untuk pelayanan resep dokter,
apoteker maupun asisten apoteker cukup memberikan obat sesuai dengan resep yang
tertera, jika tidak memiliki obat yang
sama maka dapat ditanyakan kepada dokter penulis resep atau
meminta persetujuan pasien apakah obat tersebut boleh diganti dengan obat generik atau
merk dagang lain dengan kandungan yang sama atau tidak. Tidak ada perbedaan pelayanan untuk resep dokter. Pun tidak ada perbedaan pelayanan pada
pemberian obat tanpa resep.
Lantas apa
permasalahannya? Apotek bukan hanya tempat untuk membeli obat saja bukan? Terdapat asisten apoteker yang telah tersertifikasi melakukan edukasi dan informasi kepada
pasien. Edukasi dan informasi mengenai obat yang diberikan adalah hak bagi pasien. Namun,
dewasa ini tak sedikit masyarakat yang
lebih percaya "kata orang" dibandingkan asisten apoteker.
Hal tersebut sedikit banyak memicu
"kemalasan"
asisten apoteker dalam
memahami pasien. Sehingga menyebabkan asisten apoteker menjadi banyak yang sekadar melayani pembelian
obat saja tanpa mengedukasi pasien. Lantas apa bedanya mereka dengan
"pramuniaga". Pemasalahan lainnya adalah keberadaan apoteker yang
banyak "meminjamkan nama" ya, sudah bukan menjadi rahasia bahwa banyak apoteker yang hanya namanya saja yang
terpampang di papan SIA (Surat Izin Apotek). Namun banyak dari mereka yang kurang peduli dengan pasiennya di apotek dan tidak berada
di tempat selama berjam-jam pelayanan.
Padahal berdasarkan UU
No 51 tahun 2009 menyatakan
bahwa Apotek
adalah
sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker, yang
berarti
apotekerlah yang
melakukan pelayanan kefarmasian. Sedangkan pelayanan kefarmasian
sendiri meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep
dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yaitu apoteker
dan tenaga teknik kesehatan. Nyatanya, Seluruh pekerjaan apoteker sering dilimpahkan pada apoteker pendamping
bahkan asisten
apoteker. Lalu di mana apoteker kita? Datang satu bulan sekali hanya untuk mengambil gaji dan
mengurus administrasi narkotika? Atau di “nina bobo”
kan oleh perannya dibelakang layar? Wahai apoteker, masyarakat membutuhkan kalian. Akibatnya,
masyarakat menjadi minim edukasi tentang obat. Bahkan ada yang sampai salah kaprah meminum obat karena lebih menuruti "kata orang". Banyak kasus di luar
sana
masyarakat yang "salah paham"
tentang kegunaan obat. Contoh nyata yang
sering ditemukan dalam masyarakat yakni CTM
(Chlorpheniramini
maleas) yang diketahui berkhasiat sebagai obat tidur oleh masyarakat,
padahal kantuk yang disebabkan oleh CTM hanyalah efek samping dari pengobatan anti alergi.
Ciproheptadine, yang
"kata orang" untuk
menambah nafsu
makan sebenarnya hanyalah efek samping dari pengobatan anti alergi juga. Bagaimana ini? Masyarakat perlu
edukasi. Bukan hanya edukasi saja, percuma saja jika AA (Asisten Apoteker) yang
sering “terlihat” stay
di apotek memberikan
edukasi dan informasi
obat namun masyarakat lebih
manut dengan "kata orang" . Pun AA juga butuh dimengerti oleh masyarakat, mereka telah
tersertifikasi dan memiliki nomor registrasi kefarmasian, mereka telah di sumpah mereka telah
berikrar, mereka butuh kepercayaan masyarakat
juga.
Lantas bagaimana cara mendapatkan kepercayaan masyarakat? 2014 lalu tepatnya
pada
bulan agustus,
pemerintah
telah mencanangkan
Undang-undang
terbaru
mengenai tenaga kesehatan. Yakni UU No. 36 tahun 2014. Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian menurut UU Tenaga
Kesehatan
ini adalah apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian (Diploma D3). Tenaga
teknis kefarmasian meliputi sarjana
farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi. Sedangkan dalam Permenkes 889 tahun 2011 pada Bab I (Ketentuan Umum) menyatakan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi
dan "Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker". Dengan
adanya undang
undang baru ini, berdasarkan UU No. 36 tahun 2014
Tentang
Tenaga
Kesehatan, posisi asisten apoteker mengalami
perubahan, tidak lagi
disebut Tenaga Kesehatan tetapi masuk sebagai Asisten Tenaga Kesehatan karena pendidikannya
di bawah
diploma 3. Atau dengan kata lain, asisten apoteker sekarang
harus memiliki pendidikan minimal diploma
3. Bukankah ini adalah salah
satu upaya pemerintah dalam meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada pelaku pelayanan kesehatan? Dengan adanya undang
undang baru ini pemerintah tentunya
berharap adanya peningkatan pelayanan kesehatan dengan
melahirkan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, memiliki keahlian, etika dan moral yang
tinggi yang seiring dengan berjalannya waktu harus terus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan, memiliki ilmu yang lebih mumpuni dan tersertifikasi. Mengantongi
lebih banyak ilmu dengan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, diharapkan mampu menjadi problem
solver dalam drug
related problems
serta
menghindari kesalahan
pengobatan.
Dengan
adanya
undang undang baru ini
pula, pemerintah memiliki jaminan pemerataan tenaga kesehatan.
Tiada yang lebih
berharga dari nikmat hidup sehat
Sehat jiwani, sehat jasmani, kunci hidup bahagia
Meski kaya terhormat mulia tapi pasti menderita
Jika penyakit musuh utama selalu menggoda
Sehat jiwani, sehat jasmani, kunci hidup bahagia
Meski kaya terhormat mulia tapi pasti menderita
Jika penyakit musuh utama selalu menggoda
Bina hidup sehat, diri
dan keluarga
Bina lingkungan
sehat, masyarakat sentosa
Hidup sehat modal utama bagi pembangunan semesta
Sehat sejahtera, makmur merata berdasarkan pancasila
(Mars Hidup Sehat)
Hidup sehat modal utama bagi pembangunan semesta
Sehat sejahtera, makmur merata berdasarkan pancasila
(Mars Hidup Sehat)
Pelayanan kesehatan, tentunya tak hanya mencakup instalasi kesehatan saja bukan? Tidak hanya tenaga medis saja yang
memegang
peranan. Terdapat mata rantai yang
agaknya sedikit terabai. "Hidup
sehat
modal
utama
bagi
pembangunan semesta"
pembangunan
semesta dengan segala kemajuan teknologi di dalamnya, siapa yang berperan? Putra putri bangsa, generasi indonesia. Kualitas sumber daya manusialah yang paling berperan dalam pembangunan semesta ini. Bagaimana pembangunan semesta
dapat terus berkembang dengan sumber daya manusia yang sakit-sakitan? Sumber daya manusia yang memiliki pemikiran tumpul karena gizi sehatnya tidak terpenuhi dengan baik. Bagaimana
putra putri indonesia akan
memikirkan
pembangunan
bangsa jika yang mereka pikirkan nantinya adalah
bagaimana caranya sembuh dari
penyakit? Lantas mata
rantai yang mana yang
selama ini terabai? Lihatlah,
kualitas pangan di hamparan nusantara ini. Bagaimana kabar para petani
yang menjaga kualitas hasil panennya dengan penggunaan pestisida agar memiliki daya jual
yang tinggi? Bagaimana jika penggunaan pestisida ini berlebihan? Bukankan hal
semacam ini
juga
memiliki andil dalam kesehatan masyarakat? Pestisida sendiri merupakan suatu zat
kimia yang
digunakan untuk membasmi serangga, penggerat dan jamur. Kandungan pestisida yang
ada pada sayur dan buah memang dapat dikurangi kadarnya baik dengan pengupasan, pencucian maupun
perebusan dan penggorengan. Namun,
apakah
masyarakat
mengetahui
hal
tersebut? Ya, sebagian kecil masyarakat sudah menyadarinya, bagaimana
dengan sebagian
besar yang lain? Jika
residu pestisida ini dikonsumsi dalam jangka lama maka akan
terakumulasi di dalam
tubuh dan dapat menyebabkan
berbagai
penyakit mematikan
seperti
kanker. Menggerogoti tubuh anak bangsa kita, menyita waktu produktif mereka yang sangat berharga
untuk memikirkan "bagaimana aku bisa bertahan hidup".
Selain itu bukankah
penggunaan pestisida
telah
merenggut banyak nyawa
petani akibat
keracunan
pestisida? Dari sini, pemerintah seharusnya dapat melakukan upaya untuk mengedukasi para petani,
memberikan penyuluhan
untuk beralih menggunakan pestisida alami.
Bukankah nusantara
kita
ini kaya akan bahan alam
dengan
segudang kebermanfaatan dibaliknya?
Lalu apa
hubungannya masalah pestisida dan keamanan pangan di negeri ini dengan
peningkatan pelayanan kesehatan? Tentu ada. Dengan terjaganya asupan gizi yang
diperolah anak bangsa, tentunya akan melahirkan sumber daya manusia yang tumbuh dengan sehat.
Menghabiskan masa-masa produktifnya untuk berkembang
dengan gemilang. Anak bangsa
yang terus berinovasi dan memikirkan pembangunan semesta. Sebagai contoh nyata, pada
bulan Juli 2017 lalu, mahasiswa fakultas kedokteran dan teknik mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta telah berhasil membuat alat “Sterilisasi Praktis Praktek Dokter
Gigi Daerah
Terpencil (DEKILLER-BOX) Dental
Kit Sterilisator Box”.
Merupakan sebuah kemajuan
pesat bagi
upaya pemerataan pelayanan kesehatan
di negeri
ini. Pasalnya pengadaan alat-alat khusus yang menunjang
pelayanan kesehatan masih sulit ditemukan di
daerah terpencil. Kemudian pada bulan
Agustus 2017 lalu mahasiswa kedokteran dan teknik
mesin Universitas Indonesia berhasil membuat alat “Deteksi Risiko Jantung dan Diabetes”
hal
ini juga merupakan kemajuan
pesat bagi upaya peningkatan pelayanan kesehatan di negeri ini. Dengan adanya deteksi yang lebih dini maka penanggulangan dan pengobatan bisa segera dilakukan. "Penyakit kardiovaskuler
dan
diabetes merupakan salah
satu penyebab
kematian di Indonesia yaitu sebesar 37 persen, serta penyakit diabetes sebesar 6 persen,"
ujar Humas UI Egia
Tarigan pada 5 Agustus 2017 lalu. Inilah mata rantai yang sedikit terabai, ketika penguasa hanya sibuk memberikan keterjangkauan biaya sakit namun abai dengan akar permasalah kesehatan dalam
masyarakat.
0 Komentar
Silakan berkomentar, komentar yang tidak sesuai dengan postingan akan di hapus.