Dalam sebuah organisasi mahasiswa
diskusi adalah hal yang wajib terlaksana. Fungsi utama ialah sebagai wadah
untuk meningkatkan rasa kekritisan diri terhadap masalah-masalah yang ada. Selain
itu diskusi juga berfungsi sebagai ajang
sinergisitas antara individu satu dengan individu lain. Akan tetapi diskusi
tidak hanya cukup dalam suatu forum resmi, tetapi diskusi dapat dilakukan
dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Seperti sore kemarin tertanggal 9
September 2013 dengan tujuan awal hanya ingin meminjam buku milik perpustakaan
komisariat. Kemudian seorang IMMawan datang menanyakan sesuatu hal mengenai
kepenulisan referensi. Perbincangan kemudian berlanjut mulai dari status
jurusan ilmu sejarah di UNS yang pada akhirnya disudahi dengan analisis film
sang pencerah. Jika dikelompokkan hasil
diskusi pada sore kemarin adalah seperti ini :
- Ilmu sejarah UNS
Jurusan ilmu sejarah
UNS adalah salah satu jurusan ilmu sejarah yang mengedepankan sejarah budaya
daripada sejarah lainnya. Meskipun dalam pembelajarannya juga diajarkan
mengenai sejarah lainnya seperti sejarah militer, sejarah politik, sejarah agraria,
sejarah sosial ekonomi dan masih banyak lagi yang bila disebutkan satu persatu
akan membuat si penulis ini memutar otaknya untuk berfikir dan mengingat-ingat
apa yang sudah dipelajarinya. Jika disamakan
ilmu sejarah UNS memiliki kesamaan dalam segi spesialisasi sejarah dengan ilmu
sejarah UGM. Yang membedakan, jika ilmu sejarah UGM berfokus pada kebudayaan di
Yogyakarta, sedangkan ilmu sejarah UNS berfokus pada kebudayaan Surakarta
terutama berkaitan dengan Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Hal tersebut
dapat dilihat bahwa banyak sekali seminar yang diselenggarakan oleh Jurusan
Ilmu sejarah UNS yang sedianya menguak kembali kebudayaan Keraton Surakarta dan
mencuatkan kembali sejarah yang tenggelam ditelan gemerlapnya zaman hedonism. Jika
ilmu sejarah UNS dibandingkan dengan ilmu sejarah di UI dan UNPAD sangatlah berbeda. Sebab kedua
universitas terakhir itu mengambil spesialisasi sejarah politik.
- Mengenai DIS (Daerah Isimewa Surakata)
Surakarta masih
memiliki raja tapi ia hanya serupa simbol kebudayaan. Apa yang raja perintahkan
hanya diperhatikan oleh abdi dalem keraton dan masyarakat dalam benteng kraton Surakarta.
Bila di Yogyakarta raja berkuasa atas wilayahnya. Atas dasar adanya keraton
yang masih ada raja di dalamnya dan diakui keberadaannya maka oleh para
penggagas, termasuk pula di dalamnya ada beberapa dosen ilmu sejarah maka pada
tahun 2010 ada pencanangan akan dibentuknya provinsi Daerah Istimewa Surakarta.
Sampai pada tahun ini usaha untuk memekarkan wilayah provinsi jawa tengah masih
pada tahap pengkajian ulang UU pembentukan wilayah provinsi jawa tengah. Pembentukan
DIS ini oleh beberapa kalangan tidaklah mungkin terjadi. Sebab raja sendiri
tidak lagi memiliki pengaruh di masyarakat kota Surakarta, jika demikian
apabila raja dijadikan sebagai pemimpin apakah mampu mencipkan pengaruh kembali
sehingga ia dihormati oleh rakyatnya
- Simbol Kraton dan Sejarah Islam Indonesia
Jika ketidakmungkinan
berdirinnya DIS disebabkan oleh Raja Paku Buwono yang tidak lagi memiliki citra
dalam masyarakat Surakarta, maka kami mencoba melihat dari sisi agama islam. Dimulai
dengan melihat symbol keraton Surakarta ada simbol bulan dan bintang yang
hampir sama dengan simbol negara Turki. Yang menjadi pertanyaan apakah ada
hubungan antara Keraton Surakarta dengan kerajaan Turki Usmani? Sebab jika
melihat lagi sejarah Aceh bahwa ia memiliki lambang yang sama dengan Turki. Melihat
pula artefak yang ada di museum Radya Pustaka ada pedang yang melengkung
seperti pedang Arab. Kata petugas di sana pedang tersebut merupakan peninggalan
salah satu raja Surakarta. Analisis kami mengarah pada Amangkurat IV yang
memiliki pemahaman agama tinggi. Melihat pedang yang membengkok tidaklah mungkin pedang itu adalah dari
VOC dan pemerintah Hindia-Belanda,
karena pedang yang biasa digunakan oleh Belanda bentuknya lurus.
Dari sini muncul
pertanyaan mengapa sejarah islam di Indonesia tidak begitu Nampak dipermukaan. Dari
beratus ratus buku sejarah sangat sedikit buku sejarah islam di Indonesia. Kebanyakan
sejarah Indonesia mengacu pada penulisan sejarah sekuler. Di sini kami
menghilangkan kata mungkin, sebab sejarah adalah sesuatu yang sudah terjadi. Yang
ada sejarah itu relative. Yaitu sejarah dapat dipandang dari sudut pandang
manapun.
Sejarah Indonesia
awal pergerakan selalu dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo yaitu tanggal 20
Mei 1908 sedangkan 3 tahun sebelumnya sudah berdiri Sarekat Dagang Islam yang
pada tahun 1912 berubah nama menjadi SI. Secara angka tahun dapat ditarik
secara nyata bahwa SDI lah yang lebih awal berdiri. Dari situ muncul pendapat
bisa jadi yang diakui oleh Belanda adalah adalah BO karena perijinan mendirikan
organisasi.
Kemudian mengapa
sejarah pendidikan Indonesia dimulai dengan berdirinya Taman Siswa bukan
Muhammadiyah? Jika dilihat tahun berdirinya Muhammadiyah sudah terlebih dahulu
mendirikan madrasah 10 tahun sebelum Taman Siswa berdiri.
Lalu kami
melihat dari sudut pandang penulisan sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia dalam
penulisannya terbiasa dengan menggunakan arsip Kolonial. Dalam arsip Kolonial kelompok
islam dianggap kelompok yang radikal. Kelompok yang memberontak pada pemerintah
Kolonial. Sedangkan dalam kelompok islam sendiri sangat sering dianggap kafir
bila ia menirukan gaya orang-orang barat. Bila demikian tidaklah aneh bila
sejarah islam Indonesia dipandang sebelah mata. Padahal dalam perjalanan menuju
kemerdekaan tidak bisa dipungkiri banyak sekali tokoh-tokoh islam yang turut
ambil andil dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan gelar pahlawan pun mereka
tak dapat.
- Analisis film Sang Pencerah
Ini merupakan
pembahasan yang terakhir. Masih berkaitan dengan budaya dan sejarah islam. Analisis
film itu mengacu pada 3 hal permasalahan, yaitu ketika Ahmad Dahlan muda ikut
ritual padusan sebelum bulan ramadhan. Di dalam film itu ia ikut padusan karena
ingin menemui seorang gadis. Kemudian yang kedua, ketika ia ditanya islam itu
apa? Kemudian ia memainkan biola. Pada saat itu menirukan gaya Belanda berarti
ia kafir. Lalu bagaimana ia menganggap itu arti islam? Bukankah musik itu
melalaikan? Yang ketiga yaitu terletak pada pakaian Ahmad Dahlan dalam film
tersebut, yaitu Ahmad Dahlan tidak pernah memakai pakaian ala Belanda dan
selalu memakai sorban.
Demikian sedikit hasil diskusi
kesejarahan diantara mahasisiwa Ilmu Sejarah UNS yang merupakan anggota IMM Ki
Bagus Hadikusumo UNS. Semoga bermanfaat.
0 Komentar
Silakan berkomentar, komentar yang tidak sesuai dengan postingan akan di hapus.