MENCIPTAKAN PARADIGMA ISLAM INKLUSIF SEBAGAI UPAYA MERAWAT PLURALITAS DAN HETEROGENITAS MASYARAKAT DI ERA SIBER

Oleh : Muhammad Rifai
(Ketua Bidang Hikmah periode 2020/2021)

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menyimpan berbagai kekayaan bukan hanya alam tetapi juga kekayaan budaya yang luar biasa. Dengan luas 1,905 juta km persegi dari Sabang sampai Merauke,  kekayaan budaya yang tercipta dari heterogenitas masyarakatnya menciptakan harmoni yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat. Seperti kita ketahui, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Dikutip dari travel.detik.com disebut berdasarkan data BPS tahun 2010, terdapat 300 kelompok etnik dan 1.340 suku bangsa yang mendiami bumi Indonesia, angka yang cukup fantastis untuk sebuah negara-bangsa.   Sejarah panjang heterogenitas bangsa Indonesia sudah sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa kerajaan hindu-buddha dimana Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya menjadi pusat peradaban diikuti masa Kerajaan Islam seperti Samudera Pasai dan Demak, dihuni oleh berbagai ras dan hidup secara berdampingan, sebelum akhirnya keruntuhan feodalisme akibat menyebarnya nasionalisme menciptakan Indonesia sebagai negara-bangsa yang otonom. Realitas tersebut tentu menjadi kebanggaan dan sumber ketahanan nasional apabila dikelola dengan baik. Faktanya, keberagaman dapat menjadi sebab kehancuran bangsa Indonesia, seperti perang antar suku, sikap prejudis antar etnis, pandangan destruktif hubungan mayoritas-minoritas. Sudah banyak bukti konflik horizontal hampir meruntuhkan negara kesatuan yang kita cintai. Misalnya Konflik antar etnis di Sampit, Kalimantan, Kerusuhan Tahun 1998, dan Konflik Islam-Nasrani di Maluku.   Selain karena ketidakadilan dan ketimpangan yang menjadi sebab utama konflik, salah satu penyulutnya adalah kesalahpahaman dan narasi-narasi provokatif yang dilontarkan oleh sebagaian oknum tidak bertanggung jawab sehingga melebarkan jarak dan semakin menimbulkan prasangka. Konflik memang menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, menjadi bagian inheren dari hubungan sosial  (Kriesberg, 1982).   Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain berdampak pada kemudahan akses informasi dan komunikasi antar individu, juga dapat menjelma menjadi media konflik kontemporer, potensi konflik semakin besar dengan tidak adanya batasan dalam berinteraksi. Laju informasi yang tak terkendali menimbulkan banyaknya narasi-narasi provokatif dan berita hoax. Misalnya dalam kasus konflik rasial di Papua, yang disebabkan narasi provokatif dimana mahasiswa papua di Surabaya diduga mendapatkan serangan rasis pada 2019 lalu, seperti dikutip dari news.detik.com. Kasus itu membuktikan bahwa kesalahan interpretasi atau cuitan provokatif di internet mampu menyebabkan konflik horizontal yang hampir berujung perpecahan. 
Dewasa kini, kemajuan bukan hanya memperbesar resiko konflik akibat narasi provokatif dan berita hoax, namun juga pengaruh-pengaruh pandangan, ideologi, kultur, dan nilai-nilai trans-nasional yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Banjir informasi menyebabkan semua orang bisa belajar apapun dan dimanapun, tanpa adanya kemampuan analisa mendalam dengan perangkat pengetahuan yang komprehensif. Seseorang dapat terpengaruh apa yang ia pelajari di internet, terlebih tidak adanya filter dari seorang mentor atau guru semakin menyulitkan orang yang belajar melalui internet mendeteksi kebenaran akan sesuatu. Salah satunya, yang menjadi isu kontemporer dan banyak dibicarakan adalah gerakan islam trans-nasional. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia, memiliki corak berbeda hasil dari perjalanan sejarah yang panjang. Islam memang hanya satu sebagai kepercayaan manusia, tetapi intrepetasi atau penafsiran tentangnya beragam (Esposito, 2004).    Gerakan islam trans-nasional sendiri merupakan istilah untuk menggambarkan organisasi islam yang ranah geraknya lintas negara, basis gerakannya melewati batas-batas teritorial (Aksa, 2017). Gerakan ini disebut trans-nasional bukan hanya penyebarannya yang bersifat sporadis melintasi teritorial, tetapi falsafah atau ide utamanya memang menolak konsep negara-bangsa. Gerakan Islam Trans-nasional, melihat islam sebagai satu bagian. Maka dari itu, tujuan utamanya adalah membentuk suatu tatanan masyarakat islam yang satu tidak dipisahkan oleh batas wilayah dan bendera negara. Gagasan yang ditawarkan bersifat tekstual, rigid dan fundamental. Seringkali disebut juga dengan paham fundamentalisme. Contoh organisasi yang termasuk islam trans-nasional adalah Ikhwanul Muslimin dari Mesir, Wahabisme dari Arab Saudi, dan Jamaah Islamiyyah dari Pakistan.   Dampak dari modernisasi dan digitalisasi era 4.0, menyebabkan gagasan dan ide-ide fundamentalisme itu menyebar sangat cepat khususnya di Indonesia. Penyebab mengapa gagasan mudah diterima masyarakat adalah karena cenderung praktis karena sifatnya yang tekstual dalam menjawab segala persoalan. Pandangan-pandangan fundamentalisme mudah kita temui berlalu lalang di laman pencarian internet baik berupa artikel ataupun video. Salah satu karakter pandangan fundamentalisme adalah takfiri. Takfiri adalah suatu sikap dan pandangan yang mudah mengkafirkan dan tidak segan melakukan kekerasan kepada mereka yang dianggap kafir.(Hafidh, 2018). Terjadi pergesaran makna kafir, istilah kafir bertransformasi menjadi istilah spesifik untuk menghukumi tata cara ibadah orang yang tidak sepaham (Mousavi, 2013).  Bangsa Indonesia yang heterogen dan plural, terdiri dari berbagai macam ras, suku dan agama. Sangat rentan dengan konflik horizontal, terlebih yang bermotif SARA. Oleh karenanya paradigma fundamentalisme yang dibawa kelompok islam trans-nasional seperti yang diuraikan diatas tidak tepat. Konflik semakin mudah disulut dengan bantuan teknologi informasi. Perlu langkah konkret dan tegas dalam menangani persoalan tersebut.   Satu hal yang perlu dilakukan adalah menciptakan counter wacana yang dapat menjadi alternatif untuk umat gunakan sebagai falsafah hidup. Falsafah yang dapat digunkan sebagai altenatif adalah paradigm islam inklusif. Islam inklusif atau meminjam istilah dari Cak Nur yakni teologi inklusif ialah berusaha mencari titik temu dari segala agama atau pemikiran-pemikiran yang ada (Tasman, 2017).  Semua perbedaan intrepetasi dalam beragama islam khususnya, bersumber pada satu titik. Yakni ajaran Nabi dan Rasul. Perbedaan yang terjadi hanya karena pemahaman tiap mufassir atau ulama yang berbeda. 
Fokus pada wacana Paradigma Islam Inklusif adalah persamaan dalam setiap perbedaan. Perbedaan yang ada harus dimaknai sebagai kekayaan khazanah islam saja, bukan sebagai identitas yang melekat sehingga menjadi polarisasi ideologis antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Bukan hanya kepada sesame muslim, paradigm islam inklusif ini mencari kesamaan dengan kepercayaan lain, bukan untuk meniru apalagi meyakini, tetapi sekedar sebagai simbol toleransi. Contohnya, antara umat islam dengan umat katolik, memang secara filosofis dan teologis berbeda ajaran, kitab, dan sebagainya. Lalu dicari kesamaannya, yakni sama-sama bertuhan. Dengan begitu akan lebih menghargai orang lain yang berbeda bukan karena identitas kepercayaan berbeda tetapi karena iman, keyakinan akan tuhan.   Kita mungkin sepakat, wacana tesebut masih mengawang di tataran ideal, tapi implementasi di tataran praksis sulit dan jauh dari itu, apalagi dalam konteks dunia siber yang cepat serta banyak kepentingan pragmatis. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis dalam mewujudkan wacana tersbeut supaya berhasil mendominasi paradigma masyarakat muslim Indonesia.  Pertama, diperlukan budaya literasi, dalam hal ini literasi digital. Sebagai pengguna media sosial, literasi digital penting sebagai alat untuk membentengi diri dari serbuan informasi yang provokatif dan bohong. Kedua, meningkatkan pemahaman yang benar tentang agama islam. Perlu adanya guru, ustadz ataupun kyai. Yang pemahamannya sudah teruji dan sesuai dengan kaidah keislaman dalam konteks keindonesiaan. Bagaimana menelaah seseorang pantas dijadikan panutan?, Harus dilihat track record  dan narasi yang disampaikan, apakah guru tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat luas karena sikap yang baik dan ramah, lalu apakah narasi yang disampaikan menyejukkan, definisi menyejukkan adalah tidak provokatif, menyinggung mereka yang berbeda. Kalaupun ada perbedaan pendapat semestinya disampaikan dengan arif dan bijak.   Dua langkah di atas menjadi titik tolak menuju paradigma inklusif. Diperlukan peran aktif dari tokoh masyarakat, akademisi, dan masyarakat itu sendiri. Dalam menyebarkan dan mengamalkan paradigma islam inklusif supaya dapat mereduksi pemahaman-pemahaman yang memecah belah.  Pluralitas dan heterogenitas bangsa Indonesia merupakan nikmat dari Tuhan yang dianugearahkan supaya menjadi pembelajaran semua tidak harus sama, berbeda bukan berarti musuh. Perbedaan semestinya menjadi kekuatan bukannya sumber konflik. Sesuai firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang berarti, wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. 


Referensi:
Indonesia. Yupa: Historical Studies Journal, 1(1), pp.1-14. Esposito, J. L. 1994. Ancaman Islam Mitos atau Realitas (terj). cetakan III (edisi revisi).Bandung: Mizan. Kriesberg, Louis. 1982. Social Conflict, 2nd edition. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc. Meilisa, Hilda. 2019. Terkait Hoaks di Asrama Mahasiswa Papua, Polisi Tetapkan Satu Tersangka Baru. news.detik.com, diakses pada 18 Februari 2021. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4695044/terkait-hoaks-di-asrama-mahasiswa-papua-polisi-tetapkan-satu-tersangka-baru  Mousavi, Sayed Morteza, 2013. Takfir: Azadi-e Andishe, Azadi-e Aqideh, Jakarta: Citra. Tasman, T., 2017. Islam Inklusif: Konstruksi Pemikiran untuk Dialog Umat beragama di Indonesia. Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 21(1), pp.132-146. Widodo, M.H., 2018. IDEOLOGI TAKFIRI MUHAMMAD AL-MAQDISI: Memahami Hubungan Beragama dan Bernegara Perspektif Maqāshid asy-Syarī ‘ah. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 1(2), pp.379-409. Yasmin, Puti. 2020. Jumlah dan Daftar Suku di Indonesia, Ada Berapa?. Travel.detik.com, diakses pada 18 Februari 2021. https://travel.detik.com/travel-news/d-5267619/jumlah-dan-daftar-suku-di-indonesia-ada-berapa  

Posting Komentar

0 Komentar