MATA RANTAI YANG TERABAI

Oleh : Laras Dwi Autarina A (Kader IMM Ki Bagus Hadikusumo)

         Dewasa ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam peningkatan pelayanan kesehatan, salah satunya ialah jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah yakni BPJS. Munculnya BPJS adalah bukti bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah dalam peningkatan pelayanan kesehatan dengan menyediakan jaminan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. BPJS hadir di tengah masyarakat membawa solusi atas permasalahan kesehatan yang tak sedikit melanda rakyat. Lalu, bagaimana dengan pelayanan yang diberikan BPJS pada masyarakat? Jaminan kesehatan yang satu ini memang sangatlah terjangkau dengan kelas yang disediakan, ditambah lagi pemilihan kelas pada BPJS yang tidak berdasarkan usia atau apapun, hal ini memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memilih kelas sesuai dengan kesanggupannya. Inilah yang membuat jumlah peserta BPJS begitu melimpah. Jika sudah begini maka permasalahan yang acap kali terdengar telinga kita adalah  "antre".  Banyak  pasien  BPJS  yang  mengeluhkan  hal  tersebut.  Dalam  jaminan kesehatan ini berlaku sistem rujukan, jadi tidak serta merta pasien langsung dapat berobat ke dokter spesialis atau rumah sakit. Pasien harus menjalani serangkaian prosedur yang berbelit- belit untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit, yakni harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari fasilitas kesehatan (faskes) tingkat 1. "Wani piro?" para pelaku pelayanan kesehatan  pun  tak  sedikit  yang  memberlakukan  istilah  tersebut  dalam  melaksanakan tugasnya, nyatanya pasien BPJS memang mendapatkan "jalan" untuk berobat. Namun ibarat google maps, pasien BPJS dilewatkan jalur yang lebih jauh untuk sampai ke tujuannya. Pelayanan yang lama dan terkesan bertele-tele tak sedikit yang membuat pasien BPJS mengelus dada. Lalu bagaimana jika sedang berada diluar kota? Tetap saja, Pasien hanya bisa berobat di faskes tingkat 1 yang telah Ia pilih. Begitulah kenyataannya, terdapat banyak batasan dibalik terjangkaunya premi yang harus dirogoh pasien.

Berbagai unit pelayanan kesehatan telah banyak tersebar di negeri ini. Dari rumah sakit, klinik, puskesmas, hingga apotek. Apotek sendiri melayani masyarakat dengan menyediakan obat-obatan swamedikasi maupun resep dokter. Untuk pelayanan resep dokter, apoteker maupun asisten apoteker cukup memberikan obat sesuai dengan resep yang tertera, jika tidak memiliki obat yang sama maka dapat ditanyakan kepada dokter penulis resep atau meminta persetujuan pasien apakah obat tersebut boleh diganti dengan obat generik atau merk dagang lain dengan kandungan yang sama atau tidak. Tidak ada perbedaan pelayanan untuk resep dokter. Pun tidak ada perbedaan pelayanan pada pemberian obat tanpa resep. Lantas apa permasalahannya? Apotek bukan hanya tempat untuk membeli obat saja bukan? Terdapat asisten apoteker yang telah tersertifikasi melakukan edukasi dan informasi kepada pasien. Edukasi dan informasi mengenai obat yang diberikan adalah hak bagi pasien. Namun, dewasa ini tak sedikit masyarakat yang lebih percaya "kata orang" dibandingkan asisten apoteker.   Hal   tersebut   sedikit   banyak   memicu   "kemalasan"   asisten   apoteker   dalam memahami pasien. Sehingga menyebabkan asisten apoteker menjadi banyak yang sekadar melayani pembelian obat saja tanpa mengedukasi pasien. Lantas apa bedanya mereka dengan "pramuniaga". Pemasalahan lainnya adalah keberadaan apoteker yang banyak "meminjamkan nama" ya, sudah bukan menjadi rahasia bahwa banyak apoteker yang hanya namanya saja yang terpampang di papan SIA (Surat Izin Apotek). Namun banyak dari mereka yang kurang peduli dengan pasiennya di apotek dan tidak berada di tempat selama berjam-jam pelayanan. Padahal berdasarkan UU No 51 tahun 2009 menyatakan bahwa Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker, yang berarti apotekerlah yang melakukan pelayanan kefarmasian. Sedangkan pelayanan kefarmasian sendiri meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan  perundang-undangan  yaitu  apoteker  dan  tenaga  teknik  kesehatan.  Nyatanya, Seluruh pekerjaan apoteker sering dilimpahkan pada apoteker pendamping bahkan asisten apoteker. Lalu di mana apoteker kita? Datang satu bulan sekali hanya untuk mengambil gaji dan mengurus administrasi narkotika? Atau di nina bobo” kan oleh perannya dibelakang layar? Wahai apoteker, masyarakat membutuhkan kalian. Akibatnya, masyarakat menjadi minim edukasi tentang obat. Bahkan ada yang sampai salah kaprah meminum obat karena lebih menuruti "kata orang". Banyak kasus di luar sana masyarakat yang "salah paham" tentang kegunaan obat. Contoh nyata yang sering ditemukan dalam masyarakat yakni CTM (Chlorpheniramini maleas) yang diketahui berkhasiat sebagai obat tidur oleh masyarakat, padahal kantuk yang disebabkan oleh CTM hanyalah efek samping dari pengobatan anti alergi.  Ciproheptadine,  yang  "kata  orang"  untuk  menambah  nafsu  makan  sebenarnya hanyalah efek samping dari pengobatan anti alergi juga. Bagaimana ini? Masyarakat perlu edukasi. Bukan hanya edukasi saja, percuma saja jika AA (Asisten Apoteker) yang sering terlihat” stay di apotek memberikan edukasi dan informasi obat namun masyarakat lebih manut dengan "kata orang" . Pun AA juga butuh dimengerti oleh masyarakat, mereka telah tersertifikasi dan memiliki nomor registrasi kefarmasian, mereka telah di sumpah mereka telah berikrar, mereka butuh kepercayaan masyarakat juga.

Lantas bagaimana cara mendapatkan kepercayaan masyarakat? 2014 lalu tepatnya pada  bulan  agustus,  pemerintah  telah  mencanangkan  Undang-undang  terbaru  mengenai tenaga kesehatan. Yakni UU No. 36 tahun 2014. Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian menurut UU Tenaga Kesehatan ini adalah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (Diploma D3). Tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi. Sedangkan dalam Permenkes 889 tahun 2011 pada Bab I (Ketentuan Umum) menyatakan  Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan "Tenaga  Menengah Farmasi/Asisten Apoteker". Dengan adanya undang undang baru ini, berdasarkan UU No. 36 tahun 2014  Tentang Tenaga Kesehatan,  posisi  asisten  apoteker  mengalami  perubahan,  tidak  lagi  disebut  Tenaga Kesehatan tetapi masuk sebagai Asisten Tenaga Kesehatan karena pendidikannya di bawah diploma 3. Atau dengan kata lain, asisten apoteker sekarang harus memiliki pendidikan minimal diploma 3. Bukankah ini adalah salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pelaku pelayanan kesehatan? Dengan adanya undang undang baru ini pemerintah tentunya berharap adanya peningkatan pelayanan kesehatan dengan melahirkan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, memiliki keahlian, etika dan moral yang tinggi yang seiring dengan berjalannya waktu  harus terus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan, memiliki ilmu yang lebih mumpuni dan tersertifikasi. Mengantongi lebih banyak ilmu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, diharapkan mampu menjadi problem  solver  dalam  drug  related  problems  serta  menghindari  kesalahan  pengobatan. Dengan  adanya  undang  undang baru ini  pula,  pemerintah  memiliki  jaminan pemerataan tenaga kesehatan.

Tiada yang lebih berharga dari nikmat hidup sehat
Sehat jiwani, sehat jasmani, kunci hidup bahagia
Meski kaya terhormat mulia tapi pasti menderita
Jika penyakit musuh utama selalu menggoda
Bina hidup sehat, diri dan keluarga
Bina lingkungan sehat, masyarakat sentosa 
Hidup sehat modal utama bagi pembangunan semesta
Sehat sejahtera, makmur merata berdasarkan pancasil
 (Mars Hidup Sehat)

Pelayanan kesehatan, tentunya tak hanya mencakup instalasi kesehatan saja bukan? Tidak hanya tenaga medis saja yang memegang peranan. Terdapat mata rantai yang agaknya sedikit  terabai.  "Hidup  sehat  modal  utama  bagi  pembangunan  semesta"  pembangunan semesta dengan segala kemajuan teknologi di dalamnya, siapa yang berperan? Putra putri bangsa, generasi indonesia. Kualitas sumber daya manusialah yang paling berperan dalam pembangunan semesta ini. Bagaimana pembangunan semesta dapat terus berkembang dengan sumber daya manusia yang sakit-sakitan? Sumber daya manusia yang memiliki pemikiran tumpul karena gizi sehatnya tidak terpenuhi dengan baik. Bagaimana putra putri indonesia akan   memikirkan   pembangunan   bangsa  jika   yang  mereka  pikirkan   nantinya  adalah bagaimana caranya sembuh dari penyakit? Lantas mata rantai yang mana yang selama ini terabai? Lihatlah, kualitas pangan di hamparan nusantara ini. Bagaimana kabar para petani yang menjaga kualitas hasil panennya dengan penggunaan pestisida agar memiliki daya jual yang tinggi? Bagaimana jika penggunaan pestisida ini berlebihan? Bukankan hal semacam ini juga memiliki andil dalam kesehatan masyarakat? Pestisida sendiri merupakan suatu zat kimia yang digunakan untuk membasmi serangga, penggerat dan jamur. Kandungan pestisida yang ada pada sayur dan buah memang dapat dikurangi kadarnya baik dengan pengupasan, pencucian maupun perebusan dan penggorengan. Namun, apakah masyarakat mengetahui hal tersebut? Ya, sebagian kecil masyarakat sudah menyadarinya, bagaimana dengan sebagian besar yang lain? Jika residu pestisida ini dikonsumsi dalam jangka lama maka akan terakumulasi di dalam tubuh dan dapat menyebabkan berbagai penyakit mematikan seperti kanker. Menggerogoti tubuh anak bangsa kita, menyita waktu produktif mereka yang sangat berharga untuk memikirkan "bagaimana aku bisa bertahan hidup". Selain itu bukankah penggunaan pestisida telah merenggut banyak nyawa petani akibat keracunan pestisida? Dari sini, pemerintah seharusnya dapat melakukan upaya untuk mengedukasi para petani, memberikan penyuluhan untuk beralih menggunakan pestisida alami. Bukankah nusantara kita ini kaya akan bahan alam dengan segudang kebermanfaatan dibaliknya?

Lalu apa hubungannya masalah pestisida dan keamanan pangan di negeri ini dengan peningkatan pelayanan kesehatan? Tentu ada. Dengan terjaganya asupan gizi yang diperolah anak bangsa, tentunya akan melahirkan sumber daya manusia yang tumbuh dengan sehat. Menghabiskan masa-masa produktifnya untuk berkembang dengan gemilang. Anak bangsa yang terus berinovasi dan memikirkan pembangunan semesta. Sebagai contoh nyata, pada bulan Juli 2017 lalu, mahasiswa fakultas kedokteran dan teknik mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta telah berhasil membuat alat Sterilisasi Praktis Praktek Dokter Gigi Daerah Terpencil (DEKILLER-BOX) Dental Kit Sterilisator Box”. Merupakan sebuah kemajuan  pesat  bagi  upaya  pemerataan  pelayanan  kesehatan  di  negeri  ini.  Pasalnya pengadaan alat-alat khusus yang menunjang pelayanan kesehatan masih sulit ditemukan di daerah terpencil. Kemudian pada bulan Agustus 2017 lalu mahasiswa kedokteran dan teknik mesin Universitas Indonesia berhasil membuat alat Deteksi Risiko Jantung dan Diabetes” hal  ini  juga  merupakan  kemajuan  pesat  bagi  upaya peningkatan pelayanan  kesehatan  di negeri ini. Dengan adanya deteksi yang lebih dini maka penanggulangan dan pengobatan bisa segera dilakukan. "Penyakit kardiovaskuler dan diabetes merupakan salah satu penyebab kematian di Indonesia yaitu sebesar 37 persen, serta penyakit diabetes sebesar 6 persen," ujar Humas UI Egia Tarigan pada 5 Agustus 2017 lalu. Inilah mata rantai yang sedikit terabai, ketika penguasa hanya sibuk memberikan keterjangkauan biaya sakit namun abai dengan akar permasalah kesehatan dalam masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar