INTELEKTUAL PROFETIK DAN MUSLIM NEGARAWAN

artikel ini merupakan tulisan dari salah satu kader PK IMM Ki Bagus Hadikusumo UNS Solo yang pernah dimuat di surat kabar harian Solopos pada tanggal 15 April 2014.
Beberapa hari lalu saat hendak ke Selo, Boyolali, saya di jalan bersalip-salipan dengan dua orang mahasiswi yang merupakan anggota dari salah satu organisasi eksternal kampus.
Saya tahu mereka adalah anggota organisasi pergerakan mahasiswa saat membaca tulisan di bagian belakang jaket yang dipakai salah satu dari mereka. Bagian belakang jaket itu bertuliskan “Muslim Negarawan” yang ditulis dengan huruf kapital.
Kemudian, saya berpikir tentang kawan-kawan di organisasi yang saya ikuti yang sering mencantumkan tulisan “Intelektual Profetik” di bagian belakang jaket. Jika dikaitkan, kedua istilah itu saling berhubungan.
Bagi mahasiswa yang kenal dengan dunia pergerakan mahasiswa, kedua istilah di atas bukanlah kalimat yang aneh dan sering didengar. Istilah “intelektual profetik” dan “muslim negarawan” memang dua istilah terpisah yang menjadi jargon dua organisasi pergerakan mahasiswa dan juga organisasi kader.
Siapa tidak kenal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dua organisasi ini hidup di kampus, baik secara terang-terangan maupun bersembunyi di balik kegiatan kampus.  Dua istilah itu adalah jargon yang baru berkembang beberapa tahun terakhir. IMM dengan ”Intelektual Profetik” dan KAMMI dengan ”Muslim Negarawan”
Di sini saya tidak akan membicarakan dua istilah itu satu per satu secara mendalam, melainkan bagaimana dua istilah itu membentuk pribadi mahasiswa yang nantinya akan turun juga sebagai warga negara pada umumnya.
Dalam dunia pendidikan, mahasiswa adalah sekelompok pelajar eksklusif yang duduk di kursi universitas. Keberadaan mahasiswa di universitas seharusnya terhubung langsung dengan masyarakat untuk menciptakan pemikiran kritis solutif sehingga ilmu mereka tidak hanya bermanfaat bagi diri mereka, melainkan juga bagi masyarakat.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang adalah mahasiswa disuguhi dengan berbagai iming-iming sehingga mahasiswa hanya memusatkan pikiran pada dunia kampus. Mereka dihidupi kampus dengan nyaman dan dituntut untuk memiliki nilai tinggi dan cepat lulus sehingga kadang sebagian mahasiswa menjadi pribadi yang apatis.
Selain itu, tentunya mahasiswa dihadapkan pada persaingan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Di sinilah terjadi kesalahan yang dilakukan kebanyakan kampus sekarang. Tidak jarang kampus hanya jadi pencetak pekerja profesional bukan pencipta inovasi.
Terlepas dari dunia kampus dan kembali pada dua istilah di atas, serta mengesampingkan bagaimana persaingan antara dua organisasi pergerakan mahasiswa, IMM dan KAMMI, intelektual profetik dimaknai sebagai cendekiawan yang mampu memberikan contoh dan atau inovator serta memberikan teladan berdasarkan sifat-sifat kenabian.
Dengan berdasarkan pada sifat-sifat kenabian yang tentunya memiliki pemahaman yang mendalam ihwal agama, seorang cendekiawan akan selalu memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam agama maupun masyarakat.
Bila ia menjadi pemimpin, ia akan disegani rakyat maupun pesaing. Ia akan mampu menjadi pengayom siapa pun. Ini tidak hanya berlaku pada pemimpin dalam ranah politik, namun juga pada ranah masyarakat yang lebih luas.
Konsep intelektual profetik memunculkan banyak spekulasi tentang apa yang akan terjadi nanti dengan si pelaku konsep ini. Pada konsep ini, seorang pelaku yang benar-benar memainkan perannya dalam kehidupan nyata serta dihayati tanpa pura-pura akan mampu menempatkan diri dalam berbagai aspek tanpa memandang mana  yang penting dan mana yang tidak.
Ia sadar bahwa sekecil apa pun masalah bila tidak ditangani dengan cepat akan menjadi masalah yang besar. Seperti halnya luka kecil yang dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya penyembuhan, lama-kelamaan akan bertambah parah.
Spekulasi terkuat adalah ia menjadi seorang cendekiwan dan pribadi seperti dua sisi mata uang yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dua sisi mata uang bukan berarti ia memiliki perbedaan yang tidak bisa disamakan, namun perbedaan itu dijadikan sebagai unsur pelengkap dan berfungsi ganda.
Dengan kata lain ia menjadi pribadi yang fleksibel sehingga mampu hidup dalam dua wadah atau lebih yang berbeda di masyarakat. Spekulasi lain, dengan pemahaman yang mendalam perihal agama, seseorang yang mampu mengaplikasikan konsep intelektual profetik dapat menjadi pemikir jalan tengah antara agama dan ilmu-ilmu modern.
Ilmu-ilmu modern ini disebut Syed Naquib Al Atas sebagai ilmu sekuler (pemisahan ilmu pengetahuan dengan agama). Terkait hal ini Fazlur Rahman mengemukakan konsep neomodernisasi, Al Atas dengan islamisasi ilmu, demikian juga dengan Wan Mohd. Nor Wan Daud.
Serta masih banyak lagi penggagas pemikiran Islam yang mencoba menyatukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan Alquran dan hadis di abad XX lalu. Juga ada Kuntowijoyo yang terkenal dengan konsep pengilmuan Islam.
Di balik konsep-konsep yang dicetuskan oleh para cendekiawan itu tidak terlepas dari keberadaan masyarakat Islam pada zamannya. Abad XX bisa disebut sebagai awal kesadaran kembali para cendekiawan muslim terhadap dominasi Barat di negara Islam (negara berpenduduk mayoritas muslim).
Negara Islam terjebak dalam dualisme ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Menurut Haidar Baqir dan Zainal Abidin dalam kata pengantar buku karya Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, akibat dualisme ini menyebabkan pengabaian salah satu ilmu.
Spekulasi lainnya, seorang intelektual profetik bisa menjadi politikus. Menurut M. Dawam Rahardjo dalam buku karya Denny J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an¸ peranan profetik generasi muda adalah bagaimana menciptakan sebuah birokrasi yang lebih human dan berorientasi kepada rakyat kecil. Ungkapan Dawan Rahardjo secara spesifik memang tidak menyebutkan peran pemahaman agama dalam menciptakan generasi yang humanis.
Akan tetapi, seseorang yang memiliki pemahaman agama yang mendalam pasti tidak diragukan lagi akhlak yang dibentuk pengetahuannya. Sebab, dalam agama selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap baik kepada semua makhluk.
Dari sinilah muncul istilah muslim negarawan. Yaitu seorang muslim yang tampil dalam dunia politik dengan tidak meninggalkan ajaran agama sebagai pijakan dalam mengambil setiap keputusan.
Ketika membicarakan muslim negarawan maka teringat pada tokoh yang pernah menjadi menteri penerangan saat Indonesia menerapkan sistem parlementer. Dia adalah pemimpin Partai Masyumi, Mohammad Natsir.
Natsir adalah sosok menteri yang selalu berpegang teguh pada ajaran Islam ketika menjalankan tugasnya. Bahkan, selepas menjadi pejabat negara ia tetap menjadi pribadi yang agamis, sederhana, dan bersahaja. Ia adalah seorang ulama yang cakap dalam bidang politik.
Pemikiran-pemikiran Natsir terkenal dan sangat berpengaruh bagi pergerakan Islam di Indonesia dan negara-negara semenanjung Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia, pemikiran-pemikiran Natsir memengaruhi arah gerak Partai Islam se-Malaysia (PAS), bahkan dikaji dalam pertemuan-pertemuan.  Salah satu tokoh PAS yang terkenal dan terpengaruh pemikiran Natsir adalah Anwar Ibrahim.
Berangkat dari konsep intelektual profetik dan muslim negarawan, mari berkaca pada kandidat-kandidat calon pemimpin kita yang dipilih pada 9 April lalu. Adakah kandidat yang mampu meneladani sikap Natsir dalam menjalankan tugas di parlemen nanti?
Adakah kandidat yang sikap hidupnya sederhana dan selalu berpijak pada ajaran agama? Serta, pertanyaan utama, adakah kandidat dari kalangan terdidik yang bisa menerapkan kedua konsep itu? Bila ada, akan sangat pantas sekali memimpin negara ini yang ini bisa dikatakan mulai kehilangan akal sehat.
Seorang intelektual yang cerdas dan pemahaman agamanya mendalam akan sangat terbuka pikirannya terhadap budaya baru. Ia akan memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk diterapkan. Ia juga paham bagaimana konsep nasionalisme dan konsep agama.
Kembali pada ranah mahasiswa, mendekati pemilihan umum (pemilu) sering terjadi politisasi kampus, seperti yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Di Facebook tersebar foto beberapa mahasiswi yang masing-masing membawa huruf membentuk nama sebuah partai politik dengan latar belakang Masjid Kampus UGM.
Sedangkan di Unnes, para petinggi organisasi mahasiswa berkampanye di dalam kampus. Terkait hal itu saya teringat status akun Facebook milik Ilham Akbar Darmawan, teman seorganisasi saya dari Medan. Ilham menulis: Mahasiswa, tugasmu hanya memberikan pencerahan dan pendidikan politik kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi, bukan mengajak untuk memilih salah satu dari nomor-nomor yang ada.
Jadi, menurut saya, silakan jika mahasiswa mau kembali berideologi seperti sebelum ada depolitisasi kampus saat Orde Baru. Akan tetapi, jangan sampai ideologi kepartaian ditempelkan di kampus. Serta, jangan jadikan kampus sebagai arena untuk berkampanye guna memenangkan salah satu partai politik. Jadilah generasi profetik.

Posting Komentar

0 Komentar